Natal dan Serba-serbinya
Natal berasal dari kosakata Latin yang berarti lahir. Dalam hal ini, merujuk kepada kelahiran Nabi Isa atau Yesus menurut orang Kristen. Dalam tradisi mereka, digambarkan Yesus lahir pada musim dingin, tanggal 25 Desember di sebuah daerah bernama Betlehem dalam kota Yerusalem. Dalam Bibel sendiri, tidak dijelaskan secara detail kapan Yesus lahir. Namun dari literatur, beberapa ayat di Bibel yang menceritakan kelahiran ini antara lain kitab Lukas (2): 1-8 dan kitab Matius (2): 1 dan 10-11.
Lukas (2): 1-8 berbunyi: "Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri masing-masing di kotanya. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam."
Sedangkan kitab Matius (2): 1 dan 10-11 berbunyi, "Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman Herodus datangalah orang-orang Majus dari Timur ke Yerussalem. Ketika mereka melihat bintang itu sangat bersuka citalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat anak itu bersama maria, ibunya."
Uniknya, Yesus sendiri tidak mengajarkan untuk merayakan hari lahirnya. Tradisi Natal sendiri dicatat oleh sejarah dimulai pada abad keempat -yang artinya jauh setelah Yesus diyakini wafat pada antara tahun 30-33 M- oleh Gereja Katolik Roma.
Fakta tersebut diperkuat oleh Catholic Encyclopedia, edisi 1911, dengan judul: Christmas, yang berbunyi sebagai berikut: “Christmas was not among the earliest festivals of Church... the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to Christmas”. Artinya : “Natal bukanlah upacara Gereja yang pertama... melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus”.
Masih dalam buku yang sama, dengan judul Natal Day, dituliskan: "In the Scriptures, no one is recorded to have kept a feast or held a great banquet on his birthday. It is only sinners (like Pharaoh and Herod) who make great rejoicings over the day in which they were born into this world”. Artinya : “Di dalam kitab suci, tidak ada seorang pun yang mengadakan upacara atau menyelenggarakan perayaan untuk merayakan hari kelahiran Yesus. Hanyalah orang-orang kafir saja (seperti Fir’aun dan Herodes) yang berpesta-pora merayakan hari kelahirannya di dunia ini”
Beberapa artikel terbitan Eropa dan Amerika juga menuliskan hal-hal lain yang serupa, semisal Encyclopedia Britanica yang terbit tahun 1946 dan Encyclopedia Americana edisi tahun 1944.
Al Quran mengisahkan Natal
Sebagai salah satu nabi Alloh, terlebih sebagai salah satu dari Rosul Ulul Azmi, kisah hidup Yesus juga dikisahkan dalam Al Quran. Beberapa ayat yang mengisahkan kelahiran Yesus adalah QS. Maryam (19): 22-26.
Berikut ini arti dari ayat tersebut:
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” [22] ”Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [23] “Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” [24] “dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,” [25] “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [26]
Dalam kelima ayat tersebut, diterangkan bahwa Yesus lahir pada suasana yang terang, sedang tidak musim dingin, dimana kurma sedang berbuah masak. Dari suasana yang dikisahkan Al Quran tersebut, dapat kita simpulkan bahwa apa yang diceritakan masyarakat Kristen selama ini, bahwa Yesus lahir di musim dingin, sesungguhnya salah. Bahkan sebetulnya Bibel sendiri membantah apa yang mereka yakini. Kita simak lagi Lukas (2): 1-8: “... di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”. Mungkinkah ada gembala yang tinggal di padang dan menjaga ternak pada musim dingin?
Lantas, bagaimana Al Quran kita menyikapi Natal? Pertama, perlu dipahami bahwa Natal adalah tradisi orang kafir, yang tidak mengakui Alloh sebagai Tuhan. Kedua, Alloh menegaskan batasan sikap kita terhadap mereka terkait dengan akidah. Mari kita simak surat Al Kafirun.
“Katakanlah, ’Hai orang-orang kafir!’ Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tiada (pula) kamu menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku bukan penyembah apa yang biasa kamu sembah. Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Bila kita mendaras kembali makna surat Al Kafirun, tersurat bahwa Alloh memerintahkan kita dengan tegas mengatakan kafir terhadap orang yang sembahannya berbeda dengan sembahan kita. Sekaligus memerintahkan kita untuk memisahkan urusan agamanya dan agama kita.
Namun, apakah pemisahan urusan itu juga berlaku untuk hal lainnya? Ternyata tidak. Dalam surat An Nisaa ayat 86, Alloh berfirman: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Alloh memperhitungankan segala sesuatu”.
Lantas bagaimana dengan mengucapkan Selamat Natal?
Sikap Rasululloh dan Sahabat
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam sejak masa Rasulullah, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dalam sebuah riwayat diceritakan: Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda: “Sungguh Alloh swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Alloh swt akan turun kepada mereka pada hari itu” (HR. Baihaqiy).
Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan: “Jauhilah musuh-musuh Alloh pada di hari raya mereka”.
Pandangan Ulama tentang “Selamat Natal”
Ada dua pandangan ulama mengenai hal ini. Pertama adalah jumhur Ulama yang mengharamkan. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Alloh tidak meridhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal.201).
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal.201).
Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal.201).
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 201)
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Alloh atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Alloh dari murka-Nya. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).
Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 6 hal 110).
Kedua, pandangan ulama kontemporer yang membolehkan dengan pertimbangan. Pandangan ini diwakili oleh Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa:
“Perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Alloh swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Alloh SWT dalam QS. Al-Mumtahanah: 8 yang artinya: “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut: Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib.
Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Universitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia sendiri telah memfatwakan hal ini sudah sejak tahun 1981, yang mana termaktub dalam fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan pada 7 Maret 1981. Berikut ini kutipan fatwanya:
MENELITI kembali:
Ajaran-ajaran agama Islam, antara lain:
A. Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas: Al Hujarat: 13; Lukman:15; Mumtahanah: 8 *).
B. Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain, berdasarkan Al Kafirun: 1-6; Al Baqarah: 42.*)
C. Bahwa ummat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi yang lain, berdasarkan: Maryam: 30-32; Al Maidah:75; Al Baqarah: 285.*)
D. Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan: Al Maidah:72-73; At Taubah:30.*)
E. Bahwa Alloh pada hari kiamat nanti akan menanyakan kepada Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab Tidak. Hal itu berdasarkan atas Al Maidah: 116-118.*)
F. Islam mengajarkan bahwa Alloh Swt itu hanya satu, berdasarkan atas: Al Ikhlas 1-4.*)
G. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Alloh Swt serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas: hadits Nabi dari Numan bin Basyir (yang artinya): Sesungguhnya apa-apa yang halal itu telah jelas dan apa-apa yang haran itu pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram), kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah Agamanya dan kehormatannya, tetapi barangsiapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, misalnya semacam orang yang menggembalakan binatang di sekitar daerah larangan maka mungkin sekali binatang itu makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Alloh ialah apa-apa yang diharamkanNya (oleh karena itu yang haram jangan didekati).
Majelis Ulama Indonesia MEMFATWAKAN:
1. Perayaan natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa As, akan tetapi natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
2. Mengikuti upacara natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Alloh Swt dianjurkan untuk (dalam garis miring): tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal.
Dari fatwa tersebut, dapat kita cermati bahwa MUI sudah mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kondisi masyarakat Indonesia yang kompleks sebelum memberi fatwa.
Sikap Kita sebagai Muslim di Indonesia
Sebagai individu di tengah lingkungan majemuk, terlebih sebagai mayoritas, tentu sikap kita akan menjadi penting di dalam keberagaman. Kita akan selalu menjadi tolok ukur kerukunan umat beragama di Indonesia terwujud. Bagaimana kita menghargai mereka, menghormati mereka, dan merespon perbedaan tata cara beribadatan, akan menjadi catatan sejarah yang akan terus diingat. Nah, bagaimana seyogianya kita sebagai muslim, di negeri mayoritas muslim terbesar, bersikap?
Secara pribadi, saya lebih cenderung sejalan dengan fatwa MUI, wadah komunikasi pemuka agama Islam di Negara kita, dengan bersikap untuk membiarkan mereka beribadah tanpa perlu kita memberi selamat atau perhatian berlebih, sepanjang mereka juga tidak meminta perhatian berlebih. Saya berpikir bahwa sikap ini adalah cerminan individu beragama Islam yang berusaha mendapatkan salah satu hak azasi manusianya: menjalankan keyakinan beribadahnya dengan benar dan dijamin oleh undang-undang dasar. Saya juga menganggap, sikap saya ini secara tak langsung juga sebagai salah satu upaya mewujudkan kerukunan beragama dan juga perwujudan ‘lakum dinukum waliyadin’. Silakan jalankan agamamu, tapi juga tolong hormati keyakinan saya yang tidak memperbolehkan memberi selamat.
Memang, terkadang banyak orang yang menganggap, ucapan selamat adalah hal yang sepele. Apalagi bila orang Kristen juga memberi selamat kepada kita, kaum muslim. Apakah kita tidak bisa memberi ucapan selamat kepada mereka juga? Dimana rasa balas budi kita kepada mereka? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan terus memberikan gejolak batin. Namun, ini adalah tantangan bagi kita, apakah kita bisa memberikan pemahaman kepada mereka dengan baik dan tidak disalahpahami.
Saya sendiri berpendapat, bahwa memang selayaknya kita mempunyai etika balas budi. Kebaikan harus selalu dibalas dengan kebaikan. Salam haruslah dibalas dengan salam. Perhatian haruslah dibalas dengan perhatian. Begitulah Islam mengajarkan muamalah. Akan tetapi, bila sudah menyentuh soal akidah, kita harus mempunyai prinsip, yakni Tauhid. Laa ilaaha illallah. Kita harus mau dan mampu mengatakan kepada mereka bahwa kita tidak bisa membalas Selamat Idul Fitri mereka dengan Selamat Natal melalui berbagai argumen bisa kita berikan. Kita juga harus berani dan bisa mengatakan bahwa sejatinya kita sudah memberikan perhatian kepada mereka dengan membiarkan mereka beribadah dengan lancar, damai, dan tenteram - karena begitulah Islam harusnya memberi perhatian – dan tidak bisa memberikan lebih dari itu.
Bila kemudian mereka menganggap kita tidak bisa memahami keberagaman agama dan tidak bertoleransi, mari kita ingatkan mereka bahwa toleransi adalah sikap dan pemahaman dari kedua pihak, bukan satu pihak saja. Mari ajak mereka untuk memahami bagaimana Islam mengajarkan pemeluknya untuk bersikap terhadap orang-orang selain Islam. Hanya dengan pemahaman dari kedua –dan banyak- pihak, suasana keberagaman agama yang harmonis dapat terwujud. Wallohua'lam.
Dari berbagai sumber