Friday 13 August 2010

Bukan SARA, Bukan Salah Sangka...

Ini tulisan kesekian saya ketika kaki kiri saya harus dikompres untuk menghilangkan bengkak di matanya. Bertepatan dengan adik-adik KSR saya menjalani pelantikan, bertepatan dengan akhir Januari, bertepatan dengan sepinya sang hati, dan tak bertepatan dengan lagunya Glenn Fredly.

Lagi-lagi saya menikmati tayangan di televisi. Kali ini stasiun tempat bekerja mbak Tina Talisa dan mbak Fessy Alwi. Saya sempat gusar dengan sebuah kata yang tertulis di newsticker dan diucapkan oleh penyiarnya. Kata yang seharusnya (sesuai dengan KBBI) adalah CINA dan diucapkan CINA, ditulis dengan CHINA dan diucapkan CAINA. Oh, Tuhan!

Kata negara asal etnis Tionghoa itu sudah diindonesiakan, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Kenapa sih masih menggunakan yang masih "mentah'? Apa kata CINA dan pengucapan CINA kurang enak dibaca dan didengar? Rasa-rasanya, tidak. Justru lebih berasa Indonesia dan terasa lebih bangga mengucapkannya. Lebih menyatu, lebih terintegrasi, dan lebih nasionalis? Maaf, bukan bermaksud SARA, tapi saya ingin menyampaikan bahwa televisi sebagai media massa haruslah memberikan pendidikan, bukan pembodohan.

Pendidikan dan pembodohan yang seberti apa yang saya maksud? Begini, di negara kita yang tercinta ini sudah banyak sekali ke-salahkaprah-an (dan kekelirumologian a la Jaya Suprana). Sesuatu yang salah, tapi dianggap benar dan lumrah dan diterima dengan wajar. Kalau kata CHINA dan pengucapan CAINA ini terus menerus dipakai oleh stasiun televisi dan ditonton olah puluhan juta rakyat Indonesia, bisa-bisa orang Indonesia dan anak cucu kita akan mengira kata itulah yang benar menurut KBBI dan EYD!

Menyedihkan bukan?

Thursday 12 August 2010

Asal Usul Bodoh (edisi II)

Oke, ini edisi dua, kelanjutan dari edisi pertama (ya iya lah... ). Let's see what we have! :D

Selain nama negara, pengaruh Indonesia juga sampai di dunia literatur.

Dalam bahasa Inggris, kata the last (terakhir), juga mendapat serapan dari bahasa Indonesia. Ketika dark age (masa kegelapan), seorang penjelajah dari Inggris sampai di tanah Skandinavia. Karena kelaparan, dia meminta makan kepada penduduk lokal, kebetulan masih kerabat Nur dan Wagio. Karena tidak paham bahasa, maka dia berkomunikasi dengan isyarat.
Si tuan rumah paham maksudnya, dan dia menyuguhkan sepotong roti seraya berkata, "monggo. Nuwun sewu, kantun setunggal, sampun telas (silakan. Maaf tinggal sepotong, sudah habis)". Karena bingung dan kelaparan, sang penjelajah berpikir keras dan terbata berkata, "the... las?" Sambil tersenyum tuan rumah membalas, "nggih, telas (ya, sudah habis)". Si penjelajah mengambil roti yang diberi sambil mengulang kata "the las... the las... yes, yes, the last. Thank you. Its the last..." dan berpikir bahwa itu adalah roti terakhir yang dipunyai tuan rumah. Sejak kesalahpahaman itu, kata telas (habis) kini bergeser menjadi the last (terakhir).

Penamaan sepeda onthel, juga tak lepas dari bahasa kita. Ketika prototype sepeda dikenalkan di Perancis, penemu sepeda ingin memberi nama temuannya ini dengan nama yang unik. Lalu dia menemui koleganya, seorang sastrawan, untuk membantunya. Sastrawan baik hati ini lantas meminta sang penemu memeragakan bagaimana dia mempergunakan temuannya. Ketika menyaksikan peragaan itu, sang sastrawan menemukan nama yang cocok. Nama tersebut terdiri dari dua kata dua bahasa, Inggris dan Jawa. Nama itu adalah by-sikil yang berarti dengan kaki (by-Ing: oleh, dengan) (sikil-Jawa: kaki) karena temuan itu digerakkan oleh kaki. Disebabkan pergeseran ucapan dan rasa bahasa-lah, kini kata itu kita kenal sebagai bicycle.

Sedangkan untuk kata erotis, atau dalam bahasa Inggris erotic, kuat dugaan saya jika kata ini diambil dari seorang tokoh Indonesia yang tersohor di dunia alat vital dari Sukabumi yang tak lain adalah Mak Erot...


masih tetep berlanjut... :D

Go Green di Kantor? Bisa kok...

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di kantor maupun di rumah untuk membuat kita lebih green-care. Hal-hal kecil namun bernilai besar, sedikit tapi bermakna banyak. Apa saja itu? Mari kita simak.

1. Mengurangi pemakaian kertas (paperless).
Nggak make kertas, gitu?! Surat dan dokumen kan harus dicetak?! Hehe, nggak melulu seperti itu kok. Kita kan bisa memakai softcopy dokumen tersebut atau cukup mengurangi pemakaian kertas yang baru (dan menggantinya dengan kertas bekas) untuk mencetak hal-hal yang sekiranya kurang penting, semisal konsep surat, konsep dokumen, dan konsep-konsep lain. Satu usul lain, menggunakan format dupleks (cetak bolak-balik) untuk dokumen-dokumen resmi demi mengurangi penggunaan kertas.

2. Mengurangi pemakaian alat elektronik (electroless).
Menyetel komputer pada posisi shutdown (atau minimal stand by) ketika tidak akan menggunakan perangkat merupakan satu tindakan yang bijaksana. Selain menghemat listrik, komputer yang dinonaktifkan tidak akan mengeluarkan panas. Tentu saja hal ini akan membantu menyejukkan suhu di ruangan kita. So, biar suhu ruangan selalu stabil dan kita nggak ngomel-ngomelin AC yang nggak dingin, matikan alat elektronik yang nggak terpakai.

3. Memanfaatkan fasilitas digital.
Menggunakan email dan online-messenger merupakan satu bentuk aplikasi green ICT. Jamak bin lumrah kita lebaran mengirim ucapan selamat dengan sms, bukan lagi kartu lebaran. Begitu juga ketika surat undangan rapat beralih rupa dari selembar kertas menjadi sebuah teks yang dikirimkan melalui SMS, rasanya itu akan lebih cepat sampai, membantu menghemat kertas, dan menghemat tenaga office boy buat mengantar itu undangan lantai per lantai. Sejalan dengan UU ITE yang sudah berlaku, saya berandai-andai nanti nota dinas dan surat tugas dilegalkan berwujud dokumen softcopy. :)

Wednesday 11 August 2010

Alhamdulillah...

Terima kasih ya Alloh, untuk puasa hari ini.

Allohumma lakasumtu wa bika aamantu, wa ala rizqika afthortu, birohmatika yaaa arhamarroohimiin..