Ini tulisan kesekian saya ketika kaki kiri saya harus dikompres untuk menghilangkan bengkak di matanya. Bertepatan dengan adik-adik KSR saya menjalani pelantikan, bertepatan dengan akhir Januari, bertepatan dengan sepinya sang hati, dan tak bertepatan dengan lagunya Glenn Fredly.
Lagi-lagi saya menikmati tayangan di televisi. Kali ini stasiun tempat bekerja mbak Tina Talisa dan mbak Fessy Alwi. Saya sempat gusar dengan sebuah kata yang tertulis di newsticker dan diucapkan oleh penyiarnya. Kata yang seharusnya (sesuai dengan KBBI) adalah CINA dan diucapkan CINA, ditulis dengan CHINA dan diucapkan CAINA. Oh, Tuhan!
Kata negara asal etnis Tionghoa itu sudah diindonesiakan, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Kenapa sih masih menggunakan yang masih "mentah'? Apa kata CINA dan pengucapan CINA kurang enak dibaca dan didengar? Rasa-rasanya, tidak. Justru lebih berasa Indonesia dan terasa lebih bangga mengucapkannya. Lebih menyatu, lebih terintegrasi, dan lebih nasionalis? Maaf, bukan bermaksud SARA, tapi saya ingin menyampaikan bahwa televisi sebagai media massa haruslah memberikan pendidikan, bukan pembodohan.
Pendidikan dan pembodohan yang seberti apa yang saya maksud? Begini, di negara kita yang tercinta ini sudah banyak sekali ke-salahkaprah-an (dan kekelirumologian a la Jaya Suprana). Sesuatu yang salah, tapi dianggap benar dan lumrah dan diterima dengan wajar. Kalau kata CHINA dan pengucapan CAINA ini terus menerus dipakai oleh stasiun televisi dan ditonton olah puluhan juta rakyat Indonesia, bisa-bisa orang Indonesia dan anak cucu kita akan mengira kata itulah yang benar menurut KBBI dan EYD!
Menyedihkan bukan?